“Seperti Lebaran, tiap Sura saya selalu pulang ke Dlimas untuk bertemu keluarga adik saya merayakan Dlimasan,” begitulah Slamet Widodo, 73, menceritakan ritual tahunannya setiap bulan Sura bersama anak dan menantunya kepada saya. Slamet sendiri adalah warga asli Dusun Dlimas yang kini menetap di Semarang bersama anaknya. Sementara keluarga besar adiknya masih menetap di dusun yang berada tepat di sebelah utara Pabrik Gula Ceper Baru, Ceper, Klaten, itu.
Tradisi pulang kampung setiap bulan Sura itu tidak hanya dilakoni keluarga Slamet Widodo sendiri. Puluhan keluarga lainnya yang masih keturunan warga dusun itu juga melakukan hal yang sama. Kebanyakan dari mereka bahkan menyebut tradisi Dlimasan atau bersih desa Tanjungsari jauh lebih meriah daripada tradisi Lebaran atau Ruwahan (tradisi nyadran atau ziarah menjelang bulan Ramadan).
Kemeriahan yang dimaksudkan warga memang benar adanya saat mengunjungi Dusun Dlimas kemarin Jum’at (22/11/2013). Dari depan dusun keramaian pasar malam dengan berbagai wahana seakan menyambut pengunjung yang hadir menyaksikan ritual tradisi bersih desa Tanjungsari yang rutin digelar selepas tanggal 10 pada Jum’at Kliwon atau Jum’at Wage di bulan Sura itu. Tradisi yang digelar di sekitar pohon Tanjung ini konon digelar setelah danyang (arwah leluhur) Nyi Tanjungsari dan Nyi Payung Gilap meminta warga untuk menggelar selamatan.
Keramaian pedagang di sepanjang jalan seakan menuntun langkah pengunjung memasuki Dusun Dlimas hingga menuju balai budaya Sasana Kridha Budaya yang telah disesaki warga.
Prosesi inti dari tradisi bersih desa berlangsung selepas salat Jum’at dan diikuti oleh seluruh warga Dusun Dlimas. Karena itu tidak mengagetkan jika halaman balai budaya yang lumayan luas tampak begitu padat dengan meja serta berbagai hidangan kenduri dan jajanan. Dalam ritual ini satu meja berarti wakil dari satu rumah penduduk.
Dari tiap meja saya dapat mengamati sajian khas kenduri tertata dengan rapi seperti nasi tumpeng, sambal goreng, dan juga ingkung ayam. Sementara untuk jajanan tiap warga dapat mengkreasinya secara berbeda.
Pada puncak prosesi bersih desa layaknya tradisi selamatan di Jawa pemuka agama memimpin seluruh warga untuk berdoa. Hanya saja dalam ritual tradisi Tanjungsari doa tidak hanya dipimpin oleh seorang pemuka dari satu agama saja. Terdapat tiga pemuka yang memimpin prosesi doa yang mewakili Islam, Hindu, Kristen, dan Katolik. Berbagai macam doa itu sendiri mencerminkan masyarakat majemuk Dusun Dlimas. Beberapa warga menyebutnya “dusun Bhineka Tunggal Eka”.
Tujuan dari digelarnya bersih desa adalah menghindarkan Dusun Dlimas dan warganya dari bencana dan pagebluk (wabah penyakit). Di situlah tradisi Jawa terlihat dari ritual tradisi bersih desa Tanjungsari ini. Selamatan berupa kenduri dengan nasi tumpeng lengkap dengan sajian pendampingnya dalam ritual ini sama halnya dengan selamatan yang sering dijumpai di wilayah lain di Jawa.
Selain selamatan saya juga menemukan sajian khas Jawa lainnya yang hadir pada penutupan ritual. Tepat setelah seluruh warga membawa pulang sajian kenduri yang telah didoakan warga mendapat hiburan berupa tayuban atau tari tayub. Siang itu dua penari wanita menjadi ledhek tayub yang ditanggap warga.
Tayuban yang juga biasa dihadirkan dalam tradisi bersih desa dalam tradisi Jawa ini berbeda dengan tayuban yang biasa saya pikirkan. Dalam sesi itu tidak terlihat gerombolan pria pengibing (penanggap ledhek) seperti yang biasa saya lihat berebut untuk menari bersama ledhek. Yang terlihat justru ibu-ibu yang menggendong anak kecil mereka atau orang tua yang menunggu kesempatan untuk dapat menyawer para penari.
Selepas membawakan satu tarian dua penari itu menjadi rebutan warga yang meminta mereka untuk mencium dan mendoakan anak mereka. Beberapa orang tua juga tampak meminta ijin untuk dapat memetik rangkaian bunga melati yang digunakan sebagai hiasan rambut penari atau mencium selendang yang dikenakan para penari. Tak lupa mereka juga menyematkan saweran sembari menjabat tangan para penari.
Tontonan ini seperti menjadi hiburan bagi warga lain yang menyaksikannya. Tawa bahagia lepas dari arah penonton tiap kali seorang anak dicium oleh penari. Bahkan tawa lepas keras terdengar ketika seorang kakek meminta menari dan mendapat ciuman dari kedua penari.
Tayuban menjadi sajian penutup siang itu. Ritual itu seperti menjadi penutup sempurna dari rangkaian prosesi bersih desa yang juga mengusung semangat sama dengan prosesi inti berupa selamatan yang ditujukan untuk memohon perlindungan kepada Tuhan. Karena tayuban sendiri memang telah lama menjadi bagian dari tradisi Jawa dimana warga percaya tayuban membawa kekuatan magis yang dapat menjauhkan anak dari kekuatan buruk atau juga dapat mendatangkan rejeki dan kesehatan bagi mereka yang memberikan saweran.